< 1 >
Read!
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).
< 2 >
Al-Islami
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).
< 3 >
Al-Islami
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).
< 4 >
Al-Islami
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).

Thursday 12 February 2015

Lekas lah Menikah, Bila Belum Mampu Berpuasalah


Rasulullah صلي الله عليه وسلم mengarahkan anjuran dan motivasi untuk menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para pemuda. “Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa,” demikian sabda Beliau صلي الله عليه وسلم. Berikut ini hadits tentang perintah bagi generasi muda untuk segera menikah yang dinukil dari kitab Syarah Bulughul Maram” karya Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany رحمه اللة.

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Abdullah Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berkata: Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” [Muttafaq Alaihi]

Studi Sanad

Hadits ini termasuk hadits yang paling sahih secara takhrij dan sanad. Secara takhrij, karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sedangkan secara sanad karena hadits tersebut melewati jalur yang paling valid secara mutlak (Ashah Al Asanid), yaitu Sulaiman bin Mihran Al A’masy dari Ibrahim An-Nakha’i dari ‘Alqamah bin Qais An-Nakha’i dari Abdullah bin Mas’ud. Silsilah sanad tersebut dinilai sebagai sanad terbaik, seperti silsilah sanad Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.

Imam Bukhari dan Nasa’i رحمه اللة juga meriwayatkan hadits yang sama dari Al-A’masy dengan jalur yang berbeda, yaitu dari ‘Ammarah bin ‘Umair dari Abdurrahman bin Yazid. Sanad tersebut sahih. Jadi, Al-A’masy memiliki dua jalur dalam riwayat hadits ini.

Sababul Wurud (Sebab Turunnya Hadits)

Imam Bukhari dan Nasa’i meriwayatkan dari Al-A’masy, dia berkata: ‘Ammarah dari Abdurrahman bin Yazid berkata: Aku bersama ‘Alqamah pernah mendatangi Abdullah (Ibnu Mas’ud), lalu beliau (Ibnu Mas’ud) berkata: Dahulu kami adalah para pemuda yang tidak memiliki sesuatu apapun, lalu Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, “Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, dst”.

Dalam riwayat Muslim: Aku (Abdurrahman bin Yazid) dan pamanku (‘Alqamah) dan Al Aswad pernah mendatangi Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه. Beliau (Ibnu Mas’ud) berkata: “Pada saat itu aku masih seorang pemuda”. Lalu beliau menyebutkan hadits itu, seolah-olah beliau menyebutkannya karena aku. Tak lama setelah itu pun aku menikah.

Gharibul Hadits (Istilah-Istilah Asing)
  • Ma’syar, artinya sekelompok atau segenap orang yang memiliki sifat tertentu, seperti segenap pemuda, segenap orang tua, segenap para nabi dan sebagainya.
  • Syabab: bentuk plural (jamak) dari Syab, artinya para pemuda.
  • Ba’ah, secara bahasa berarti jima’ (bersenggama) kemudian dipakai untuk menyatakan akad nikah.
  • Wija’, artinya tameng. Orang yang berpuasa seolah-olah memiliki tameng yang dapat melindungi dirinya.
Musykilul Hadits

Imam Nawawi رحمه اللة dalam kitabnya Syarah Muslim mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Ba’ah dalam hadits tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Ba’ah di sini adalah maknanya secara bahasa, yaitu jima’. Jadi bunyi hadits tersebut menjadi, “Barangsiapa di antara kalian telah mampu berjima’, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu berjima’, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwat dan air maninya, sebagaimana tameng yang menahan serangan”.

Jika yang dimaksud Ba’ah adalah jima’, maka objek dari hadits tersebut adalah para pemuda yang memiliki hasrat yang besar terhadap lawan jenisnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud Ba’ah adalah kemampuan seseorang untuk memberikan nafkah dan keperluan pernikahan. Jadi, bunyi haditsnya menjadi,

“Barangsiapa di antara kalian telah mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwatnya”.

Makna dan Uslub

Rasulullah صلي الله عليه وسلم mengarahkan anjuran dan motivasi untuk menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para pemuda. Beliau bersabda, “Wahai segenap para pemuda”. Kata “Ma’syar” yang berarti “segenap” menyiratkan makna kemanusiaan dan sosial yang menjadi ciri masyarakat Islam. Beliau tidak menggunakan kata lain seperti “Ya Ayyuha Syabab” misalnya, karena kata “Ma’syar” memiliki nuansa cinta dan kasih sayang dalam komunitas muslim. Hal ini merupakan salah satu bentuk kepedulian Islam terhadap persoalan para pemuda, sehingga Islam memberikan perhatian yang khusus bagi mereka, yaitu anjuran untuk segera menikah bagi yang telah mampu.

“Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa”. Beliau menggunakan kata “Alaihi” yang berarti “hendaklah” untuk menyatakan makna banyak. Artinya, “hendaklah ia memperbanyak berpuasa”. Beliau tidak menggunakan kata “Fal Yashum” misalnya, yang berarti “berpuasalah”, karena kata itu bermakna puasa yang sehari atau dua hari saja. Adapun kata “Alaihi Bishoum” bermakna memperbanyak berpuasa.

Hadits tersebut di atas juga memberikan hikmah yang sangat penting dalam pernikahan, yaitu “karena ia lebih mampu menjaga pandangan dan lebih mampu memelihara kemaluan”. Ini merupakan jaminan yang sangat penting bagi umat manusia yang ingin memelihara pandangan dan kemaluannya.

Dalam hadits tersebut terdapat Shighat Tafdhil yaitu kata “Aghaddu” dan “Ahshonu” yang berarti “lebih mampu menundukkan” dan “lebih mampu memelihara” untuk menunjukkan tujuan daripada pernikahan, yaitu terpeliharanya pandangan dan kemaluan. Kata tersebut juga memberikan pemahaman bahwa keimanan memiliki kemampuan menundukkan dan memelihara sebagian pandangannya, sedangkan pernikahan memiliki kemampuan yang lebih besar dan kuat.

Kemudian hadits tersebut juga memberikan pengarahan bagi para pemuda yang belum mampu melaksanakan pernikahan untuk memperbanyak berpuasa, karena puasa mampu menahan gejolak syahwat.

Isntinbath (Hukum Fikih)

Hadits di atas mengandung hukum-hukum yang sangat penting berkaitan dengan masalah sosial, di antaranya yaitu:

1. Anjuran dan motivasi yang sangat kuat untuk menikah
Secara lahir, hadits tersebut menunjukkan wajibnya menikah bagi yang telah mampu. Tentunya yang dimaksud mampu di sini sesuai dengan pengertian yang telah kita bahas di depan. Pendapat inilah yang diambil oleh para ulama dari kalangan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama dan riwayat yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum menikah bagi yang telah mampu dalah sunnah, bukan wajib. Tentu saja dengan syarat ia mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa (seperti zina, onani, masturbasi, dsb). Jika tidak, maka hukum menikah menjadi wajib baginya menurut kesepakatan seluruh ulama.

Para ulama menjawab dalil Zhahiriyah dengan sabda Rasul صلي الله عليه وسلم, “Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa”. Jika berpuasa disunnahkan, maka menikah pun demikian, karena puasa adalah sebagai ganti dari menikah.

2. Hukum menikah bagi setiap orang berbeda-beda sesuai kondisinya.
Berikut ini rinciannya:
  • Wajib, bagi yang khawatir terjerumus ke dalam perbuatan dosa, sementara ia mampu menikah.
  • Haram, bagi yang belum mampu berjima’ dan membahayakan kondisi pasangannya jika menikah.
  • Makruh, bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai.
  • Sunnah, bagi yang memenuhi kriteria dalam hadits di atas sedangkan ia masih mampu menjaga kesucian dirinya.
  • Mubah, bagi yang tidak memiliki pendorong maupun penghalang apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan bilogisnya semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.
Akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa poin terakhir ini hukumnya sunnah sebagaimana sebagian ulama mengambil pendapat ini berdasarkan hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah secara mutlak.

Qodhi Iyadh berkata: hukum menikah adalah sunnah bagi yang ingin menghasilkan keturunan meskipun ia tidak memiliki kecenderungan untuk berjima’, berdasarkan hadits “Sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)” dan juga hadits-hadits yang secara lahir berisi anjuran untuk menikah.

Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah ini sangatlah banyak sehingga semakin menguatkan perintah ditekankannya menikah bagi yang telah mampu meskipun ia masih dapat menjaga kesucian dirinya.

3. Menikah merupakan solusi yang tepat dalam mencegah tersebarnya penyakit masyarakat, yaitu perzinahan, pemerkosaan, seks bebas dan lain sebagainya.

4. Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para pemerhati masalah sosial agar memberikan perhatian yang serius kepada para pemuda, kerena mereka merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika para pemuda di suatu komunitas baik, maka baiklah urusan mereka. Wallahu A’lamu Bishowab.

Tentang Tanda-tanda Kiamat


Al Bukhari رحمه اللة meriwayatkan dari Abu A Yaman, dari Syuaib, dari Abu Az-Zinad, dari A A’raj, dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dari Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, beliau bersabda, “Kiamat tidakakan terjadi jika telah banyak orang yang berbicara panjang lebar di atas gedung-gedung.” [HR. Ahmad, 10438]

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru رضي الله عنه, ia berkata, “Seseorang pada Hari Kiamat akan dibawa ke Timbangan. Dikeluarkan 99 dokumen miliknya dan tiap-tiap dokumen panjangnya sejauh mata memandang. Di dalamnya dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya, lalu diletakkan di piring Timbangan. Lalu dikeluarkan kertas miliknya yang besar gulungannya laksana seikat kecil saja yang bisa dipegang dengan mempertemukan ujung jempol dan jari telunjuk. Di dalam kertas itu tertulis persaksian:  لا إ له إلا الله وأن محمدا عبده و رسوله. Kemudian diletakkan di atas piring Timbangan yang lain. Ternyata lebih berat daripada segala kesalahannya.” [HR. At-Tirmidzi]

Adapun sebagian pemberi peringatan, sebagaimana diceritakan oleh Al Qurthubi, ia berkata, “Bayangkan dirimu wahai saudaraku ketika engkau sedang berada di atas Ash-Shirath, lalu engkau melihat ke arah Jahanam yang ada di bawahmu yang berwarna hitam pekat dan gelap-gulita. apinya menjilat-jilat dan lidah apinya membumbung tinggi. Engkau terkadang berjalan dan terkadang merangkak.”
Al Qurthubi lalu bersyair,
Jiwaku enggan bertobat, maka apa alasanku
Ketika para hamba dihadapkan kepada Yang Agung
Mereka bangkit dari kuburnya dengan kebingungan
Dengan setumpuk dosa laksana gunung-gunung
Ash-Shirath telah dipasang untuk dilalui
Di antara mereka terjungkir ke arah kiri
Di antara mereka ada yang berjalan menuju kampung Adn
Ia disambut oleh bidadari-bidadari dengan parfumnya
Sang penyambut berkata kepadanya, “Wahai Tuanku
dosa-dosamu diampuni, maka jangan engkau pedulikan “
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah bersabda.
‘Kalian semua tidak mengetahui kadar api kalian (di dunia) ini dibandingkan
dengan api Jahanam? Api Jahanam lebih pekat daripada asap api kalian ini
70 kali lipat’.”

Diriwayatkan dari Anas رضي الله عنه, ia berkata, “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya! Jika kalian melihat apa yang aku lihat, pasti kalian sangat banyak menangis dan sedikit sekali tertawa’. Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau lihat?’ Beliau menjawab, ‘Aku melihat surga dan neraka’.” [HR. Ahmad, Musnad, 12801]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dari Nabi صلي الله عليه وسلم, beliau bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, dan berpuasa pada bulan Ramadhan, maka sungguh menjadi hak Allah untuk memasukkannya ke dalam surga. Ia berhijrah ke jalan Allah atau tetap tinggal di bumi, tempat ia dilahirkan.” Para sahabat lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tidak perlukah kita sampaikan kepada semua orang?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di dalam surga ada 100 tingkatan yang disediakan oleh Allah عز و جل untuk para mujahid dijalan-Nya. Jarak tiap tingkatan itu laksana jarak antara langit dan bumi. Jika kalian semua berdoa kepada Allah maka mohonlah Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus adalah surga paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Ar-Rahman (Allah) dan dari situlah memancar sungai-sungai surga.” [HR. Al Bukhari, 2581 dan Ahmad, Musnad, 21676]

Ahmad berkata: Ali bin Ayyasy menyampaikan hadits kepada kami, Muhammad bin Mutharrif menyampaikan hadits kepada kami, Abu Khazim menyampaikan hadits kepada kami dari Abu Sa’id A Khudri, ia berkata, “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Sungguh, orang-orang yang saling mencintai telah terlihat kamar-kamarnya di surga, laksana bintang-bintang yang muncul di ufuk Timur atau Barat’. Lalu ditanyakan, ‘Siapakah mereka?’ Dikatakan, ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai semata-mata karena Allah عز و جل ‘. “ [Musnad Ahmad. Hadits marfu]

Diriwayatkan dari Anas رضي الله عنه, ia berkata, “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Barangsiapa memohon kepada Allah surga tiga kali, maka surga berkata, ‘Ya Allah, masukkanlah ia ke dalam surga’. Barangsiapa memohon dijauhkan dari neraka tiga kali, maka neraka berkata, ‘Ya Allah, jauhkanlah ia dari neraka’.” [HR. At-Tirmidzi. Hadis marfu]

Di dalam hadits yang disepakati ke-shahih-annya dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata, “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Surga ditutupi oleh berbagai hal yang tidak disukai, sedangkan neraka ditutupi oleh berbagai hal yang pengundang syahwat’. ” [HR. Muslim. Hadits marfu]

Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, ” Orang yang berakhlak bagus akan pergi bersama kebaikan dunia dan akhirat.”



Sejarah Munculnya Syirik di Muka Bumi


Salah satu fenomena yang sangat menyedihkan di kalangan umat Islam saat ini yaitu, masih maraknya kita jumpai kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh sebagain manusia, dan menjadi tempat yang lebih ramai dari destinasi-destinasi wisata. Mereka berduyun-duyun datang dari berbagai daerah hingga dari manca negara untuk meraih berbagai hajatnya masing-masing.

Ada yang datang ke kuburan dengan niat untuk menperoleh jodoh, meraih kedudukan, ingin cepat kaya, maupun keselamatan hidup. Ada pula yang datang dengan niat beribadah, shalat, membaca al-Qur’an atau ibadah lain dengan anggapan bahwa beribadah di samping kuburan orang suci mendatangkan kekhusyukan.

Sesungguhnya, fitrah orang yang telah meninggal telah terputus hubungan dengan orang yang hidup, dan tidak mampu menjawab panggilan orang, apalagi mengabulkan permintaan. Hal ini sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى :

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ‌ إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ‌ونَ بِشِرْ‌كِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“… Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” [Qs. Faathir: 13-14]

Pemujaan terhadap kuburan-kuburan orang shalih ini sesungguhnya bukanlah fenomena orang-orang di dunia modern ini. Namun perilaku awal munculnya fitnah pengagungan kuburan ini, telah terjadi pada kaum Nabi Nuh عليه السلام. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى :

وَقَالُوا لَا تَذَرُ‌نَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُ‌نَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرً‌ا

Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr’. [Qs. Nuh: 23]

Inilah sejarah awal munculnya syirik (penyembahan selain kepada Allah سبحانه وتعالى). Sebab kekufuran anak cucu Nabi Adam عليه السلام dan sebab mereka meninggalkan agama mereka adalah ghuluw, yakni sikap berlebihan pada orang-orang shalih.

Menurut Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari No. 4940: bahwa Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr merupakan nama-nama orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh عليه السلام. Ketika mereka meninggal, syetan membisikkan kepada kaum mereka untuk memasang patung di majelis-majelis yang dahulu biasa mereka gunakan. Mereka namakan patung-patung orang-orang shalih tersebut. Mereka pun melakukannya dan saat itu patung-patung tersebut belum disembah. Hingga setelah mereka meninggal, dan ilmu mulai punah, maka patung-patung itupun disembah.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّـهِ إِلَّا الْحَقَّ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…” [Qs. An-Nisaa': 171]

Ibnu Qayyim رحمه اللة berkata, “Tidak sedikit kalangan salaf berpendapat, ‘Ketika mereka mati, orang-orang sering mengerumuni kuburan mereka, kemudian mereka membuat patung-patung mereka, kemudian masa yang panjang berlalu, dan akhirnya orang-orang itu menyembah mereka’.”

Dari Umar رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘”Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’” [HR. Al-Bukhari No. 3445]

Perintah untuk menjauhi sikap ghuluw ditegaskan oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم :

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [HR. Ahmad I/215, 347, an-Nasa-i V/268, Ibnu Majah No. 3029]

Anas bin Malik رضي الله عنه berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syetan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” [HR. Ahmad III/153, 241, 249, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 249, 250]

Beliau صلي الله عليه وسلم tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah سبحانه وتعالى berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi صلي الله عليه وسلم tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi صلي الله عليه وسلم, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah سبحانه وتعالى dengan hak Rasulullah صلي الله عليه وسلم.

Keburukan-keburukan dan Bahaya Syirik


Syirik yaitu menjadikan sekutu bagi Allah سبحانه وتعالى dalam rububiyyah, uluhiyyah, asma’ dan sifat-Nya, atau pada salah satunya. Apabila seorang manusia meyakini bahwa bersama Allah سبحانه وتعالى ada yang menciptakan, atau yang menolong, maka dia seorang musyrik. Barangsiapa yang meyakini bahwa sesuatu selain Allah سبحانه وتعالى berhak disembah, maka dia seorang musyrik. Barangsiapa yang meyakini bahwa bagi Allah سبحانه وتعالى ada yang serupa pada asma’ dan sifat-Nya, maka dia seorang musyrik.

Dasar Syirik

Dasar syirik dan pondasinya dibangun atasnya adalah bergantung kepada selain Allah سبحانه وتعالى. Barangsiapa yang bergantung kepada selain Allah سبحانه وتعالى niscaya menyerahkannya kepada sesuatu yang dia bertawakkal kepadanya, menyiksanya dengannya, menghinakannya dari sisi yang dia bergantung dengannya. Jadilah ia tercela, tidak ada pujian baginya, terhina tidak ada penolong baginya, seperti firman Allah سبحانه وتعالى:

 لَّا تَجۡعَلۡ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَقۡعُدَ مَذۡمُومٗا مَّخۡذُولٗا

Janganlah kamu adakan ilah-ilah yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).” [Qs. Al-Isra': 22]

Bahaya Syirik

1. Syirik kepada Allah سبحانه وتعالى adalah perbuatan yang teramat zalim, karena telah melewati batas hak Allah سبحانه وتعالى yang khusus dengan-Nya, yaitu tauhid. Tauhid adalah keadilan paling adil dan syirik adalah kezaliman yang paling bengis dan kejahatan yang paling keji; karena ia mengurangi bagi Rabb semesta alam, menyombongkan diri dari taat kepada-Nya dan memalingkan kemurnian hak-Nya kepada selain-Nya dan memutarkan selainnya dengannya. Karena begitu besar bahayanya, maka sesungguhnya siapa yang berjumpa dengan Allah سبحانه وتعالى dalam keadaan syirik kepada Allah سبحانه وتعالى, sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى tidak mengampuninya, seperti dalam firman-Nya:

 إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” [Qs. An-Nisaa'48]

2. Syirik kepada Allah سبحانه وتعالى merupakan dosa terbesar. Siapa menyembah selain Allah سبحانه وتعالى berarti dia telah meletakkan ibadah di tempat yang salah, dan memalingkannya kepada yang tidak berhak. Hal itu kezaliman yang besar, seperti firman Allah سبحانه وتعالى:

 إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ 

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [Qs. Luqman: 13]

3. Syirik besar menggugurkan semua amal perbuatan dan memastikan kebinasaan dan kerugian, ia adalah dosa yang terbesar.

a. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Qs. Az-Zumar: 65]

b. Dari Abu Bakrah رضي ال عنه, ia berkata, “Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Maukah kalian aku beritahukan dosa yang terbesar? (Nabi mengucapkannya sampai tiga kali). Mereka menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah سبحانه وتعالى, durhaka kepada kedua orang tua.’ Dan beliau duduk dan tadinya beliau bersandar: ‘Ketahuilah!, dan sumpah palsu.’ Abu Bakrah رضي ال عنه berkata, ‘Beliau terus mengulanginya hingga kami berkata, ‘Semoga beliau diam.” [Muttafaqun ‘Alaih – HR. al-Bukhari no. 2654 dan lafazd ini adalah miliknya, dan Muslim no.87]

Keburukan-Keburukan Syirik:

Allah سبحانه وتعالى menyebutkan empat keburukan syirik dalam empat ayat, yaitu:

1. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah سبحانه وتعالى, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [Qs. An-Nisa': 48]

2. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا

“Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [Qs. An-Nisa': 116]

3. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” [Qs. Al-Maidah: 72]

4. Firman Allah سبحانه وتعالى:

وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَتَخۡطَفُهُ ٱلطَّيۡرُ أَوۡ تَهۡوِي بِهِ ٱلرِّيحُ فِي مَكَانٖ سَحِيقٖ

“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Qs. Al-Hajj: 31]

Balasan Ahli Syirik

1. Firman Allah سبحانه وتعالى:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ 

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Qs. Al-Bayyinah: 6]

2. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيۡنَ ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٖ وَنَكۡفُرُ بِبَعۡضٖ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا ١٥٠ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ حَقّٗاۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا

“Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan:”Kami beriman kepada yang sebahagian dan kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” [Qs. An-Nisaa': 150-151]

3. Dari Abdullah bin Mas’ud t, ia berkata, “Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Barangsiapa yang meninggal dunia, sedangkan dia berdoa kepada sekutu dari selain Allah سبحانه وتعالى, niscaya dia masuk neraka.” [Muttafaqun ‘alaih – HR. al-Bukhari no 4497, ini adalah lafaznya dan Muslim no. 92]



Berdoa Selain Kepada Allah Termasuk Syirik Besar


بسم الله الرحين الرحيم

Segala puji bagi اللّه Ta’ala, kami memuji-Nya, memohon pertolongan & ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada اللّه سبحانه وتعالى dari kejahatan diri kami & kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang اللّه beri petunjuk, maka tidak ada  yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang اللّه sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali اللّه semata, tiada sekutu bagi-Nya. Serta saya bersaksi  bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Amma Ba’du.

Berdoa Kepada Selain اللّه Adalah Syirik Besar. Berdoa kepada اللّه adalah seseorang mengharap kepada اللّه dengan maksud supaya اللّه سبحانه وتعالى mewujudkan keinginan baik dengan meminta atau dengan merendahkan diri berharap & takut kepada اللّه سبحانه وتعالى.
Berdoa dengan makna di atas adalah ibadah.

Berkata An Nu’man Ibn Basyir رضي الله عنه, aku mendengar Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
“Doa adalah ibadah.”

Kemudian beliau صلي الله عليه وسلم membaca ayat:

“Dan berdoa lah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan kalian, sesungguhnya orang-orang yang sombong & tidak beribadah kepada-Ku mereka akan masuk ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan terhina.” [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan juga an-Nasii serta Ibn Majjah dan dishahihkan oleh Al-Albani]

Makna “beribadah kepada-Ku” adalah “berdoa kepada-Ku”.

Apabila berdoa adalah hak اللّه سبحانه وتعالى semata maka berdoa kepada selain اللّه dengan berserah diri dihadapannya mengharap & takut kepada nya sebagaimana dia mengharap & takut kepada اللّه adalah termasuk syirik besar.

Isthigosah adalah termasuk berdoa /meminta dilepaskan dari kesusahan, isti’adah (meminta perlindungan), isti’anah (meminta pertolongan).

Apabila didalamnya ada perendahan diri, pengharapan & takut maka ini adalah ibadah hanya diserahkan hanya kepada اللّه سبحانه وتعالى.

Perlu kita ketahui bahwasanya, boleh seseorang beristigosah, ber isti’adah, ber isti’anah kepada seorang makhluk dengan 4 syarat :
  1. Makhluk tersebut masih hidup
  2. Dia berada didepan kita /bisa mendengar ucapan kita
  3. Dia mampu sebagai makhluk untuk melakukannya
  4. Tidak boleh seseorang bertawakal kepada sebab tersebut akan tetapi bertawakal kepada اللّه  Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan sebab.
Orang yang beristigosah, ber isti’adah, ber isti’anah kepada orang yang sudah mati atau kepada orang yang masih hidup akan tetapi tidak berada di depan kita /tidak bisa mendengar suara kita atau meminta makhluk perkara yang tidak mungkin melakukannya kecuali اللّه maka ini termasuk syirik besar.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ نْتَ، اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبُ اِلَيْكَ



Fatwa Ulama: Belajar Fikih Salah Satu Madzhab

Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi

Soal:

Bagaimana menurut anda hukum belajar ilmu fikih dari suatu madzhab tertentu? Apakah metode ini dibenarkan?

Jawaban:

Belajar ilmu fikih dari salah satu madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali untuk mengenal masalah-masalah fikih yang ada dan sisi pendalilan di dalamnya, dengan tetap berpegang pada dalil tanpa bertujuan untuk bertaklid padanya, maka ini adalah metode yang dikenal dan diterapkan para ulama. Ini juga metode belajar fikih yang direkomendasikan para ulama.

Namun jika tujuan belajar ilmu fikih dari salah satu madzhab adalah untuk bertaklid padanya, padahal punya kemampuan untuk melihat sisi pendalilan dari masalah-masalah fikih yang ada, maka ini adalah hal yang selayaknya dijauhi. Para ulama sejak dahulu hingga sekarang telah mencela hal tersebut.

ما رأيكم بدراسة الفقه على مذهب معين؟ هل هذا منهج سليم؟ ]ـ
دراسة الفقه على أحد المذاهب الأربعة مذهب أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد لأجل معرفة المسائل الفقهية ووجوه الاستدلال عليها، مع التزام الدليل إن صح، لا لأجل التقليد منهج متبع معروف لدى أهل العلم، وهو المنهج الذي ينصح به، لكن إن قصد بدراسة الفقه على مذهب معين هو التقليد مع القدرة على معرفة الأدلة ووجوه الاستدلال منها فهذا مما ينبغي تجنبه، وقد ذم أهل العلم ذلك قديماً وحديثاً.

Sunnahnya Bersiwak

Di antara ajaran agama Islam untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut adalah dengan bersiwak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ – وَفِى حَدِيثِ زُهَيْرٍ عَلَى أُمَّتِى – لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ

“Seandainya tidak memberatkan ummatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat“ (H.R Muslim)

Diriwayatkan dari ‘Asiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ.

“Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersiwak apabila hendak masuk ke dalam rumah” (H.R Muslim)

Imam Nanwawi rahimahullah berkata, “Siwak menurut istilah para ulama adalah menggunakan ranting atau yang semcamnya untuk menghilangkan warna kuning serta kotorang lain yang ada pada gigi. Siwak hukumnya sunnah dan tidak wajib dalam keadaaan apaun, baik ketika hendak shalat maupun dalam kondisi lain”.

Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa siwak hukumnya sunnnah (dianjurkan). Namun lebih ditekankan lagi dalam lima kondisi berikut :
 1.Ketika hendak shalat
 2.Ketika (sebelum atau sesudah) berwudhu
 3.Ketika hendak membaca Al Qur’an
 4.Ketika bangun dari tidur
 5.Ketika kondisi bau mulut berubah, misalnya ketika lama tidak makan dan minum, saat memakan makanan yang berbau tidak sedap, ketika lama tidak bicara, dan setelah banyak berbicara.

Copyright @ 2013 Demo.