Thursday 12 February 2015

Lekas lah Menikah, Bila Belum Mampu Berpuasalah


Rasulullah صلي الله عليه وسلم mengarahkan anjuran dan motivasi untuk menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para pemuda. “Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa,” demikian sabda Beliau صلي الله عليه وسلم. Berikut ini hadits tentang perintah bagi generasi muda untuk segera menikah yang dinukil dari kitab Syarah Bulughul Maram” karya Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany رحمه اللة.

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Abdullah Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berkata: Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” [Muttafaq Alaihi]

Studi Sanad

Hadits ini termasuk hadits yang paling sahih secara takhrij dan sanad. Secara takhrij, karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sedangkan secara sanad karena hadits tersebut melewati jalur yang paling valid secara mutlak (Ashah Al Asanid), yaitu Sulaiman bin Mihran Al A’masy dari Ibrahim An-Nakha’i dari ‘Alqamah bin Qais An-Nakha’i dari Abdullah bin Mas’ud. Silsilah sanad tersebut dinilai sebagai sanad terbaik, seperti silsilah sanad Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.

Imam Bukhari dan Nasa’i رحمه اللة juga meriwayatkan hadits yang sama dari Al-A’masy dengan jalur yang berbeda, yaitu dari ‘Ammarah bin ‘Umair dari Abdurrahman bin Yazid. Sanad tersebut sahih. Jadi, Al-A’masy memiliki dua jalur dalam riwayat hadits ini.

Sababul Wurud (Sebab Turunnya Hadits)

Imam Bukhari dan Nasa’i meriwayatkan dari Al-A’masy, dia berkata: ‘Ammarah dari Abdurrahman bin Yazid berkata: Aku bersama ‘Alqamah pernah mendatangi Abdullah (Ibnu Mas’ud), lalu beliau (Ibnu Mas’ud) berkata: Dahulu kami adalah para pemuda yang tidak memiliki sesuatu apapun, lalu Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, “Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, dst”.

Dalam riwayat Muslim: Aku (Abdurrahman bin Yazid) dan pamanku (‘Alqamah) dan Al Aswad pernah mendatangi Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه. Beliau (Ibnu Mas’ud) berkata: “Pada saat itu aku masih seorang pemuda”. Lalu beliau menyebutkan hadits itu, seolah-olah beliau menyebutkannya karena aku. Tak lama setelah itu pun aku menikah.

Gharibul Hadits (Istilah-Istilah Asing)
  • Ma’syar, artinya sekelompok atau segenap orang yang memiliki sifat tertentu, seperti segenap pemuda, segenap orang tua, segenap para nabi dan sebagainya.
  • Syabab: bentuk plural (jamak) dari Syab, artinya para pemuda.
  • Ba’ah, secara bahasa berarti jima’ (bersenggama) kemudian dipakai untuk menyatakan akad nikah.
  • Wija’, artinya tameng. Orang yang berpuasa seolah-olah memiliki tameng yang dapat melindungi dirinya.
Musykilul Hadits

Imam Nawawi رحمه اللة dalam kitabnya Syarah Muslim mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Ba’ah dalam hadits tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Ba’ah di sini adalah maknanya secara bahasa, yaitu jima’. Jadi bunyi hadits tersebut menjadi, “Barangsiapa di antara kalian telah mampu berjima’, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu berjima’, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwat dan air maninya, sebagaimana tameng yang menahan serangan”.

Jika yang dimaksud Ba’ah adalah jima’, maka objek dari hadits tersebut adalah para pemuda yang memiliki hasrat yang besar terhadap lawan jenisnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud Ba’ah adalah kemampuan seseorang untuk memberikan nafkah dan keperluan pernikahan. Jadi, bunyi haditsnya menjadi,

“Barangsiapa di antara kalian telah mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwatnya”.

Makna dan Uslub

Rasulullah صلي الله عليه وسلم mengarahkan anjuran dan motivasi untuk menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para pemuda. Beliau bersabda, “Wahai segenap para pemuda”. Kata “Ma’syar” yang berarti “segenap” menyiratkan makna kemanusiaan dan sosial yang menjadi ciri masyarakat Islam. Beliau tidak menggunakan kata lain seperti “Ya Ayyuha Syabab” misalnya, karena kata “Ma’syar” memiliki nuansa cinta dan kasih sayang dalam komunitas muslim. Hal ini merupakan salah satu bentuk kepedulian Islam terhadap persoalan para pemuda, sehingga Islam memberikan perhatian yang khusus bagi mereka, yaitu anjuran untuk segera menikah bagi yang telah mampu.

“Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa”. Beliau menggunakan kata “Alaihi” yang berarti “hendaklah” untuk menyatakan makna banyak. Artinya, “hendaklah ia memperbanyak berpuasa”. Beliau tidak menggunakan kata “Fal Yashum” misalnya, yang berarti “berpuasalah”, karena kata itu bermakna puasa yang sehari atau dua hari saja. Adapun kata “Alaihi Bishoum” bermakna memperbanyak berpuasa.

Hadits tersebut di atas juga memberikan hikmah yang sangat penting dalam pernikahan, yaitu “karena ia lebih mampu menjaga pandangan dan lebih mampu memelihara kemaluan”. Ini merupakan jaminan yang sangat penting bagi umat manusia yang ingin memelihara pandangan dan kemaluannya.

Dalam hadits tersebut terdapat Shighat Tafdhil yaitu kata “Aghaddu” dan “Ahshonu” yang berarti “lebih mampu menundukkan” dan “lebih mampu memelihara” untuk menunjukkan tujuan daripada pernikahan, yaitu terpeliharanya pandangan dan kemaluan. Kata tersebut juga memberikan pemahaman bahwa keimanan memiliki kemampuan menundukkan dan memelihara sebagian pandangannya, sedangkan pernikahan memiliki kemampuan yang lebih besar dan kuat.

Kemudian hadits tersebut juga memberikan pengarahan bagi para pemuda yang belum mampu melaksanakan pernikahan untuk memperbanyak berpuasa, karena puasa mampu menahan gejolak syahwat.

Isntinbath (Hukum Fikih)

Hadits di atas mengandung hukum-hukum yang sangat penting berkaitan dengan masalah sosial, di antaranya yaitu:

1. Anjuran dan motivasi yang sangat kuat untuk menikah
Secara lahir, hadits tersebut menunjukkan wajibnya menikah bagi yang telah mampu. Tentunya yang dimaksud mampu di sini sesuai dengan pengertian yang telah kita bahas di depan. Pendapat inilah yang diambil oleh para ulama dari kalangan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama dan riwayat yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum menikah bagi yang telah mampu dalah sunnah, bukan wajib. Tentu saja dengan syarat ia mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa (seperti zina, onani, masturbasi, dsb). Jika tidak, maka hukum menikah menjadi wajib baginya menurut kesepakatan seluruh ulama.

Para ulama menjawab dalil Zhahiriyah dengan sabda Rasul صلي الله عليه وسلم, “Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa”. Jika berpuasa disunnahkan, maka menikah pun demikian, karena puasa adalah sebagai ganti dari menikah.

2. Hukum menikah bagi setiap orang berbeda-beda sesuai kondisinya.
Berikut ini rinciannya:
  • Wajib, bagi yang khawatir terjerumus ke dalam perbuatan dosa, sementara ia mampu menikah.
  • Haram, bagi yang belum mampu berjima’ dan membahayakan kondisi pasangannya jika menikah.
  • Makruh, bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai.
  • Sunnah, bagi yang memenuhi kriteria dalam hadits di atas sedangkan ia masih mampu menjaga kesucian dirinya.
  • Mubah, bagi yang tidak memiliki pendorong maupun penghalang apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan bilogisnya semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.
Akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa poin terakhir ini hukumnya sunnah sebagaimana sebagian ulama mengambil pendapat ini berdasarkan hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah secara mutlak.

Qodhi Iyadh berkata: hukum menikah adalah sunnah bagi yang ingin menghasilkan keturunan meskipun ia tidak memiliki kecenderungan untuk berjima’, berdasarkan hadits “Sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)” dan juga hadits-hadits yang secara lahir berisi anjuran untuk menikah.

Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah ini sangatlah banyak sehingga semakin menguatkan perintah ditekankannya menikah bagi yang telah mampu meskipun ia masih dapat menjaga kesucian dirinya.

3. Menikah merupakan solusi yang tepat dalam mencegah tersebarnya penyakit masyarakat, yaitu perzinahan, pemerkosaan, seks bebas dan lain sebagainya.

4. Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para pemerhati masalah sosial agar memberikan perhatian yang serius kepada para pemuda, kerena mereka merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika para pemuda di suatu komunitas baik, maka baiklah urusan mereka. Wallahu A’lamu Bishowab.

Tentang Tanda-tanda Kiamat


Al Bukhari رحمه اللة meriwayatkan dari Abu A Yaman, dari Syuaib, dari Abu Az-Zinad, dari A A’raj, dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dari Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, beliau bersabda, “Kiamat tidakakan terjadi jika telah banyak orang yang berbicara panjang lebar di atas gedung-gedung.” [HR. Ahmad, 10438]

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru رضي الله عنه, ia berkata, “Seseorang pada Hari Kiamat akan dibawa ke Timbangan. Dikeluarkan 99 dokumen miliknya dan tiap-tiap dokumen panjangnya sejauh mata memandang. Di dalamnya dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya, lalu diletakkan di piring Timbangan. Lalu dikeluarkan kertas miliknya yang besar gulungannya laksana seikat kecil saja yang bisa dipegang dengan mempertemukan ujung jempol dan jari telunjuk. Di dalam kertas itu tertulis persaksian:  لا إ له إلا الله وأن محمدا عبده و رسوله. Kemudian diletakkan di atas piring Timbangan yang lain. Ternyata lebih berat daripada segala kesalahannya.” [HR. At-Tirmidzi]

Adapun sebagian pemberi peringatan, sebagaimana diceritakan oleh Al Qurthubi, ia berkata, “Bayangkan dirimu wahai saudaraku ketika engkau sedang berada di atas Ash-Shirath, lalu engkau melihat ke arah Jahanam yang ada di bawahmu yang berwarna hitam pekat dan gelap-gulita. apinya menjilat-jilat dan lidah apinya membumbung tinggi. Engkau terkadang berjalan dan terkadang merangkak.”
Al Qurthubi lalu bersyair,
Jiwaku enggan bertobat, maka apa alasanku
Ketika para hamba dihadapkan kepada Yang Agung
Mereka bangkit dari kuburnya dengan kebingungan
Dengan setumpuk dosa laksana gunung-gunung
Ash-Shirath telah dipasang untuk dilalui
Di antara mereka terjungkir ke arah kiri
Di antara mereka ada yang berjalan menuju kampung Adn
Ia disambut oleh bidadari-bidadari dengan parfumnya
Sang penyambut berkata kepadanya, “Wahai Tuanku
dosa-dosamu diampuni, maka jangan engkau pedulikan “
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah bersabda.
‘Kalian semua tidak mengetahui kadar api kalian (di dunia) ini dibandingkan
dengan api Jahanam? Api Jahanam lebih pekat daripada asap api kalian ini
70 kali lipat’.”

Diriwayatkan dari Anas رضي الله عنه, ia berkata, “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya! Jika kalian melihat apa yang aku lihat, pasti kalian sangat banyak menangis dan sedikit sekali tertawa’. Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau lihat?’ Beliau menjawab, ‘Aku melihat surga dan neraka’.” [HR. Ahmad, Musnad, 12801]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dari Nabi صلي الله عليه وسلم, beliau bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, dan berpuasa pada bulan Ramadhan, maka sungguh menjadi hak Allah untuk memasukkannya ke dalam surga. Ia berhijrah ke jalan Allah atau tetap tinggal di bumi, tempat ia dilahirkan.” Para sahabat lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tidak perlukah kita sampaikan kepada semua orang?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di dalam surga ada 100 tingkatan yang disediakan oleh Allah عز و جل untuk para mujahid dijalan-Nya. Jarak tiap tingkatan itu laksana jarak antara langit dan bumi. Jika kalian semua berdoa kepada Allah maka mohonlah Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus adalah surga paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Ar-Rahman (Allah) dan dari situlah memancar sungai-sungai surga.” [HR. Al Bukhari, 2581 dan Ahmad, Musnad, 21676]

Ahmad berkata: Ali bin Ayyasy menyampaikan hadits kepada kami, Muhammad bin Mutharrif menyampaikan hadits kepada kami, Abu Khazim menyampaikan hadits kepada kami dari Abu Sa’id A Khudri, ia berkata, “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Sungguh, orang-orang yang saling mencintai telah terlihat kamar-kamarnya di surga, laksana bintang-bintang yang muncul di ufuk Timur atau Barat’. Lalu ditanyakan, ‘Siapakah mereka?’ Dikatakan, ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai semata-mata karena Allah عز و جل ‘. “ [Musnad Ahmad. Hadits marfu]

Diriwayatkan dari Anas رضي الله عنه, ia berkata, “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Barangsiapa memohon kepada Allah surga tiga kali, maka surga berkata, ‘Ya Allah, masukkanlah ia ke dalam surga’. Barangsiapa memohon dijauhkan dari neraka tiga kali, maka neraka berkata, ‘Ya Allah, jauhkanlah ia dari neraka’.” [HR. At-Tirmidzi. Hadis marfu]

Di dalam hadits yang disepakati ke-shahih-annya dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata, “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Surga ditutupi oleh berbagai hal yang tidak disukai, sedangkan neraka ditutupi oleh berbagai hal yang pengundang syahwat’. ” [HR. Muslim. Hadits marfu]

Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, ” Orang yang berakhlak bagus akan pergi bersama kebaikan dunia dan akhirat.”



Sejarah Munculnya Syirik di Muka Bumi


Salah satu fenomena yang sangat menyedihkan di kalangan umat Islam saat ini yaitu, masih maraknya kita jumpai kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh sebagain manusia, dan menjadi tempat yang lebih ramai dari destinasi-destinasi wisata. Mereka berduyun-duyun datang dari berbagai daerah hingga dari manca negara untuk meraih berbagai hajatnya masing-masing.

Ada yang datang ke kuburan dengan niat untuk menperoleh jodoh, meraih kedudukan, ingin cepat kaya, maupun keselamatan hidup. Ada pula yang datang dengan niat beribadah, shalat, membaca al-Qur’an atau ibadah lain dengan anggapan bahwa beribadah di samping kuburan orang suci mendatangkan kekhusyukan.

Sesungguhnya, fitrah orang yang telah meninggal telah terputus hubungan dengan orang yang hidup, dan tidak mampu menjawab panggilan orang, apalagi mengabulkan permintaan. Hal ini sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى :

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ‌ إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ‌ونَ بِشِرْ‌كِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“… Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” [Qs. Faathir: 13-14]

Pemujaan terhadap kuburan-kuburan orang shalih ini sesungguhnya bukanlah fenomena orang-orang di dunia modern ini. Namun perilaku awal munculnya fitnah pengagungan kuburan ini, telah terjadi pada kaum Nabi Nuh عليه السلام. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى :

وَقَالُوا لَا تَذَرُ‌نَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُ‌نَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرً‌ا

Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr’. [Qs. Nuh: 23]

Inilah sejarah awal munculnya syirik (penyembahan selain kepada Allah سبحانه وتعالى). Sebab kekufuran anak cucu Nabi Adam عليه السلام dan sebab mereka meninggalkan agama mereka adalah ghuluw, yakni sikap berlebihan pada orang-orang shalih.

Menurut Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari No. 4940: bahwa Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr merupakan nama-nama orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh عليه السلام. Ketika mereka meninggal, syetan membisikkan kepada kaum mereka untuk memasang patung di majelis-majelis yang dahulu biasa mereka gunakan. Mereka namakan patung-patung orang-orang shalih tersebut. Mereka pun melakukannya dan saat itu patung-patung tersebut belum disembah. Hingga setelah mereka meninggal, dan ilmu mulai punah, maka patung-patung itupun disembah.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّـهِ إِلَّا الْحَقَّ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…” [Qs. An-Nisaa': 171]

Ibnu Qayyim رحمه اللة berkata, “Tidak sedikit kalangan salaf berpendapat, ‘Ketika mereka mati, orang-orang sering mengerumuni kuburan mereka, kemudian mereka membuat patung-patung mereka, kemudian masa yang panjang berlalu, dan akhirnya orang-orang itu menyembah mereka’.”

Dari Umar رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘”Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’” [HR. Al-Bukhari No. 3445]

Perintah untuk menjauhi sikap ghuluw ditegaskan oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم :

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [HR. Ahmad I/215, 347, an-Nasa-i V/268, Ibnu Majah No. 3029]

Anas bin Malik رضي الله عنه berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syetan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” [HR. Ahmad III/153, 241, 249, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 249, 250]

Beliau صلي الله عليه وسلم tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah سبحانه وتعالى berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi صلي الله عليه وسلم tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi صلي الله عليه وسلم, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah سبحانه وتعالى dengan hak Rasulullah صلي الله عليه وسلم.

Keburukan-keburukan dan Bahaya Syirik


Syirik yaitu menjadikan sekutu bagi Allah سبحانه وتعالى dalam rububiyyah, uluhiyyah, asma’ dan sifat-Nya, atau pada salah satunya. Apabila seorang manusia meyakini bahwa bersama Allah سبحانه وتعالى ada yang menciptakan, atau yang menolong, maka dia seorang musyrik. Barangsiapa yang meyakini bahwa sesuatu selain Allah سبحانه وتعالى berhak disembah, maka dia seorang musyrik. Barangsiapa yang meyakini bahwa bagi Allah سبحانه وتعالى ada yang serupa pada asma’ dan sifat-Nya, maka dia seorang musyrik.

Dasar Syirik

Dasar syirik dan pondasinya dibangun atasnya adalah bergantung kepada selain Allah سبحانه وتعالى. Barangsiapa yang bergantung kepada selain Allah سبحانه وتعالى niscaya menyerahkannya kepada sesuatu yang dia bertawakkal kepadanya, menyiksanya dengannya, menghinakannya dari sisi yang dia bergantung dengannya. Jadilah ia tercela, tidak ada pujian baginya, terhina tidak ada penolong baginya, seperti firman Allah سبحانه وتعالى:

 لَّا تَجۡعَلۡ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَقۡعُدَ مَذۡمُومٗا مَّخۡذُولٗا

Janganlah kamu adakan ilah-ilah yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).” [Qs. Al-Isra': 22]

Bahaya Syirik

1. Syirik kepada Allah سبحانه وتعالى adalah perbuatan yang teramat zalim, karena telah melewati batas hak Allah سبحانه وتعالى yang khusus dengan-Nya, yaitu tauhid. Tauhid adalah keadilan paling adil dan syirik adalah kezaliman yang paling bengis dan kejahatan yang paling keji; karena ia mengurangi bagi Rabb semesta alam, menyombongkan diri dari taat kepada-Nya dan memalingkan kemurnian hak-Nya kepada selain-Nya dan memutarkan selainnya dengannya. Karena begitu besar bahayanya, maka sesungguhnya siapa yang berjumpa dengan Allah سبحانه وتعالى dalam keadaan syirik kepada Allah سبحانه وتعالى, sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى tidak mengampuninya, seperti dalam firman-Nya:

 إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” [Qs. An-Nisaa'48]

2. Syirik kepada Allah سبحانه وتعالى merupakan dosa terbesar. Siapa menyembah selain Allah سبحانه وتعالى berarti dia telah meletakkan ibadah di tempat yang salah, dan memalingkannya kepada yang tidak berhak. Hal itu kezaliman yang besar, seperti firman Allah سبحانه وتعالى:

 إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ 

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [Qs. Luqman: 13]

3. Syirik besar menggugurkan semua amal perbuatan dan memastikan kebinasaan dan kerugian, ia adalah dosa yang terbesar.

a. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Qs. Az-Zumar: 65]

b. Dari Abu Bakrah رضي ال عنه, ia berkata, “Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Maukah kalian aku beritahukan dosa yang terbesar? (Nabi mengucapkannya sampai tiga kali). Mereka menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah سبحانه وتعالى, durhaka kepada kedua orang tua.’ Dan beliau duduk dan tadinya beliau bersandar: ‘Ketahuilah!, dan sumpah palsu.’ Abu Bakrah رضي ال عنه berkata, ‘Beliau terus mengulanginya hingga kami berkata, ‘Semoga beliau diam.” [Muttafaqun ‘Alaih – HR. al-Bukhari no. 2654 dan lafazd ini adalah miliknya, dan Muslim no.87]

Keburukan-Keburukan Syirik:

Allah سبحانه وتعالى menyebutkan empat keburukan syirik dalam empat ayat, yaitu:

1. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah سبحانه وتعالى, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [Qs. An-Nisa': 48]

2. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا

“Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [Qs. An-Nisa': 116]

3. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” [Qs. Al-Maidah: 72]

4. Firman Allah سبحانه وتعالى:

وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَتَخۡطَفُهُ ٱلطَّيۡرُ أَوۡ تَهۡوِي بِهِ ٱلرِّيحُ فِي مَكَانٖ سَحِيقٖ

“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Qs. Al-Hajj: 31]

Balasan Ahli Syirik

1. Firman Allah سبحانه وتعالى:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ 

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Qs. Al-Bayyinah: 6]

2. Firman Allah سبحانه وتعالى:

 إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيۡنَ ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٖ وَنَكۡفُرُ بِبَعۡضٖ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا ١٥٠ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ حَقّٗاۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا

“Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan:”Kami beriman kepada yang sebahagian dan kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” [Qs. An-Nisaa': 150-151]

3. Dari Abdullah bin Mas’ud t, ia berkata, “Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda, ‘Barangsiapa yang meninggal dunia, sedangkan dia berdoa kepada sekutu dari selain Allah سبحانه وتعالى, niscaya dia masuk neraka.” [Muttafaqun ‘alaih – HR. al-Bukhari no 4497, ini adalah lafaznya dan Muslim no. 92]



Berdoa Selain Kepada Allah Termasuk Syirik Besar


بسم الله الرحين الرحيم

Segala puji bagi اللّه Ta’ala, kami memuji-Nya, memohon pertolongan & ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada اللّه سبحانه وتعالى dari kejahatan diri kami & kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang اللّه beri petunjuk, maka tidak ada  yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang اللّه sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali اللّه semata, tiada sekutu bagi-Nya. Serta saya bersaksi  bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Amma Ba’du.

Berdoa Kepada Selain اللّه Adalah Syirik Besar. Berdoa kepada اللّه adalah seseorang mengharap kepada اللّه dengan maksud supaya اللّه سبحانه وتعالى mewujudkan keinginan baik dengan meminta atau dengan merendahkan diri berharap & takut kepada اللّه سبحانه وتعالى.
Berdoa dengan makna di atas adalah ibadah.

Berkata An Nu’man Ibn Basyir رضي الله عنه, aku mendengar Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
“Doa adalah ibadah.”

Kemudian beliau صلي الله عليه وسلم membaca ayat:

“Dan berdoa lah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan kalian, sesungguhnya orang-orang yang sombong & tidak beribadah kepada-Ku mereka akan masuk ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan terhina.” [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan juga an-Nasii serta Ibn Majjah dan dishahihkan oleh Al-Albani]

Makna “beribadah kepada-Ku” adalah “berdoa kepada-Ku”.

Apabila berdoa adalah hak اللّه سبحانه وتعالى semata maka berdoa kepada selain اللّه dengan berserah diri dihadapannya mengharap & takut kepada nya sebagaimana dia mengharap & takut kepada اللّه adalah termasuk syirik besar.

Isthigosah adalah termasuk berdoa /meminta dilepaskan dari kesusahan, isti’adah (meminta perlindungan), isti’anah (meminta pertolongan).

Apabila didalamnya ada perendahan diri, pengharapan & takut maka ini adalah ibadah hanya diserahkan hanya kepada اللّه سبحانه وتعالى.

Perlu kita ketahui bahwasanya, boleh seseorang beristigosah, ber isti’adah, ber isti’anah kepada seorang makhluk dengan 4 syarat :
  1. Makhluk tersebut masih hidup
  2. Dia berada didepan kita /bisa mendengar ucapan kita
  3. Dia mampu sebagai makhluk untuk melakukannya
  4. Tidak boleh seseorang bertawakal kepada sebab tersebut akan tetapi bertawakal kepada اللّه  Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan sebab.
Orang yang beristigosah, ber isti’adah, ber isti’anah kepada orang yang sudah mati atau kepada orang yang masih hidup akan tetapi tidak berada di depan kita /tidak bisa mendengar suara kita atau meminta makhluk perkara yang tidak mungkin melakukannya kecuali اللّه maka ini termasuk syirik besar.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ نْتَ، اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبُ اِلَيْكَ



Fatwa Ulama: Belajar Fikih Salah Satu Madzhab

Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi

Soal:

Bagaimana menurut anda hukum belajar ilmu fikih dari suatu madzhab tertentu? Apakah metode ini dibenarkan?

Jawaban:

Belajar ilmu fikih dari salah satu madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali untuk mengenal masalah-masalah fikih yang ada dan sisi pendalilan di dalamnya, dengan tetap berpegang pada dalil tanpa bertujuan untuk bertaklid padanya, maka ini adalah metode yang dikenal dan diterapkan para ulama. Ini juga metode belajar fikih yang direkomendasikan para ulama.

Namun jika tujuan belajar ilmu fikih dari salah satu madzhab adalah untuk bertaklid padanya, padahal punya kemampuan untuk melihat sisi pendalilan dari masalah-masalah fikih yang ada, maka ini adalah hal yang selayaknya dijauhi. Para ulama sejak dahulu hingga sekarang telah mencela hal tersebut.

ما رأيكم بدراسة الفقه على مذهب معين؟ هل هذا منهج سليم؟ ]ـ
دراسة الفقه على أحد المذاهب الأربعة مذهب أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد لأجل معرفة المسائل الفقهية ووجوه الاستدلال عليها، مع التزام الدليل إن صح، لا لأجل التقليد منهج متبع معروف لدى أهل العلم، وهو المنهج الذي ينصح به، لكن إن قصد بدراسة الفقه على مذهب معين هو التقليد مع القدرة على معرفة الأدلة ووجوه الاستدلال منها فهذا مما ينبغي تجنبه، وقد ذم أهل العلم ذلك قديماً وحديثاً.

Sunnahnya Bersiwak

Di antara ajaran agama Islam untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut adalah dengan bersiwak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ – وَفِى حَدِيثِ زُهَيْرٍ عَلَى أُمَّتِى – لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ

“Seandainya tidak memberatkan ummatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat“ (H.R Muslim)

Diriwayatkan dari ‘Asiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ.

“Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersiwak apabila hendak masuk ke dalam rumah” (H.R Muslim)

Imam Nanwawi rahimahullah berkata, “Siwak menurut istilah para ulama adalah menggunakan ranting atau yang semcamnya untuk menghilangkan warna kuning serta kotorang lain yang ada pada gigi. Siwak hukumnya sunnah dan tidak wajib dalam keadaaan apaun, baik ketika hendak shalat maupun dalam kondisi lain”.

Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa siwak hukumnya sunnnah (dianjurkan). Namun lebih ditekankan lagi dalam lima kondisi berikut :
 1.Ketika hendak shalat
 2.Ketika (sebelum atau sesudah) berwudhu
 3.Ketika hendak membaca Al Qur’an
 4.Ketika bangun dari tidur
 5.Ketika kondisi bau mulut berubah, misalnya ketika lama tidak makan dan minum, saat memakan makanan yang berbau tidak sedap, ketika lama tidak bicara, dan setelah banyak berbicara.

5 Syarat Sahnya Akad Nikah

Sebuah akad nikah dikatakan sah jika memiliki 5 syarat berikut:

 1. Ta’yin Az Zaujain, menyebutkan secara pasti individu pasangan yang dinikahkan, bukan dengan ungkapan yang membuat ragu. Tidak boleh wali nikah hanya mengatakan: “saya nikahkan anda dengan anak saya“, padahal ia memiliki banyak anak. Harus disebutkan secara pasti anaknya yang mana yang ia nikahkan, dengan menyebutkan namanya. Misal dengan mengatakan: “saya nikahkan anda dengan anak saya, Aisyah“, ini sah.Tidak boleh juga sekedar menyebutkan: “saya nikahkan anda dengan anak saya yang besar (atau yang kecil)“, yang memungkinkan salah paham.

 2. Adanya keridhaan dari kedua mempelai

 3. Adanya wali, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

    لا نكاح إلا بولي

    “tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
    dan juga hadits:

    أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل. فنكاحها باطل. فنكاحها باطل

    “Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal” (HR. Ahmad, Abu Daud, dishahihkan oleh As Suyuthi dan Al Albani).

Dan urutan yang paling berhak menjadi wali untuk menikahkan seorang wanita adalah ayahnya, lalu kakeknya, lalu anaknya, lalu saudara kandung, lalu paman dari bapak, lalu lelaki yang paling dekat jalur kekerabatannya setelah paman, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama. Sebagian ulama ada yang lebih mengutamakan anak lelaki yang sudah baligh dari seorang wanita, daripada ayahnya untuk menjadi wali.

 4. Adanya saksi. Berdasarkan hadits Imran bin Hushain secara marfu‘:

    لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل

    “tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” (HR. Ibnu Hibban, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Adz Dzahabi)

 5. Tidak terdapat hal yang menghalangi keabsahan nikah, atau dengan kata lain, kedua mempelai halal untuk menikah. Hal-hal yang menghalangi keabsahan nikah misalnya:
   * Keduanya termasuk mahram
   * Masih ada hubungan saudara sepersusuan
   * Beda agama, kecuali jika mempelai suami Muslim dan mempelai wanita dari ahlul kitab maka dibolehkan dengan syarat wanita tersebut afifah (wanita yang menjaga kehormatannya).
   * Sang wanita masih dalam masa iddah.

Wallahu a’lam.

Jika Imam dan Makmum Berbeda Niat

إذا اختلفت نية الإمام والمأموم فهل الصلاة صحيحة؟
الصو أنها صحيحة، الصواب أنها صحيحة إذا كان الإمام مثلاً يصلي العصر وجاء إنسان ما صلى الظهر فصلى خلفه بنية الظهر صحت على الصحيح، أو كان الإمام قد أدى الفريضة وصلى بالناس الآخرين النافلة وهي لهم فريضة كذلك، كما فعل معاذ كان يصلي مع النبي -صلى الله عليه وسلم- فريضته ثم يأتي بقومه ويصلي بهم فريضتهم وهو متنفل، أو كان الأمام مفترض والمأمومون متنفلون لا حرج في ذلك. جزاكم الله خيراً.

Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya:

“Jika niat imam dan makmum berbeda, apakah shalatnya sah?”

Beliau rahimahullahu menjawab:

“Yang benar, shalatnya tetap sah (menurut pendapat yang lebih kuat). Jika imam sedang shalat ‘ashar misalnya, dan datang seseorang yang belum melaksanakan shalat dzuhur, kemudian dia shalat di belakang imam tersebut dengan niat shalat dzuhur, shalatnya sah menurut pendapat yang benar. Atau jika imam telah melaksanakan shalat fardhu, kemudian dia shalat mengimami orang-orang lainnya dengan niat shalat sunnah, dan para makmum tersebut shalat fardhu, maka shalatnya juga sah. Sebagaimana yang dilakukan Mu’adz, di mana beliau dahulu shalat fardhu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia mendatangi kaumnya dan mengimami shalat fardhu mereka sedang ia berniat shalat sunnah. Atau (sebaliknya), imam melaksanakan shalat fardhu, dan para makmum berniat melaksanakan shalat sunnah, yang demikian itu juga tidak berdosa. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak.”

Beliau rahimahullahu juga pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa,

إذا اختلفت نية المأموم والإمام، فهل الصلاة صحيحة؟

“Jika niat makmum dan imam berbeda, apakah shalatnya sah?”

الصواب أنها صحيحة؛ لأن الرسول -صلى الله عليه وسلم- صلى في الخوف ببعض المسلمين ركعتين صلاة الخوف، ثم صلى بالطائفة الأخرى ركعتين، فصارت الأولى له فريضة، والثانية له نافلة وهم لهم فريضة، وكان معاذ -رضي الله عنه- يصلي مع النبي -صلى الله عليه وسلم- في العشاء صلاة الفريضة، ثم يرجع ويصلي بقومه صلاة العشاء نافلةً له وهي لهم فرض، فدل ذلك على أنه لا حرج في اختلاف النية، وهكذا لو أن إنسان جاء إلى المسجد وصلى العصر, وهو لم يصلي الظهر, فإنه يصلي معهم العصر بنية الظهر ولا حرج عليه في أصح قولي العلماء, ثم يصلي العصر بعد ذلك. جزاكم الله خيراً

Maka beliau rahimahullahu menjawab:

“Yang benar, shalatnya sah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat khauf mengimami sebagian kaum muslimin sebanyak dua raka’at, kemudian beliau shalat mengimami sebagian lainnya sebanyak dua raka’at. Maka shalat beliau yang pertama adalah shalat fardhu, dan yang kedua adalah shalat sunnah, sedangkan bagi para makmum merupakan shalat fardhu. Demikian juga Mu’adz radhiyallahu ‘anhu shalat isya’ bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia kembali kepada kaumnya dan mengimami shalat isya’ bagi mereka, yang merupakan shalat sunnah baginya dan shalat fardhu bagi mereka. Perbuatan beliau tersebut menunjukkan bahwa tidak mengapa jika terdapat perbedaan niat antara imam dengan makmumnya. Demikian pula, apabila seseorang masuk ke dalam masjid dan jama’ah yang ada sedang melaksanakan shalat ‘ashar, sedangkan dia belum menunaikan shalat dzuhur, maka dia shalat ‘ashar bersama mereka dengan niat shalat dzuhur. Hal tersebut tidaklah mengapa, menurut pendapat yang paling tepat diantara dua perkataan ulama. Baru setelahnya dia melaksanakan shalat ‘ashar. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak.”

Bekal Di Bulan Dzulhijjah

Diantara kasih sayang Allah azza wa jalla terhadap hamba-Nya Dia menjadikan untuk mereka musim-musim ketaatan, dimana di dalamnya mereka dianjurkan untuk memperbanyak amal sholeh. Walaupun pada hakikatnya ketaatan hakiki itu tidak mengenal musim. Dan diantara musim ketaatan tersebut adalah bulan Dzulhijjah.

Berikut ini beberapa amalan yang disunnahkan dibulan Dzulhijjah.

 1. Menjaga amalan-amalan fardhu dan memperbanyak sholat-sholat nafilah (sunnah). Hal ini berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan memperbanyak amal sholeh di bulan ini.
 2. Berpuasa pada 9 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Sebagian istri nabi menuturkan, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berpuasa pada 9 hari di bulan Dzulhijjah, hari Asyuro’ dan tiga hari pada setiap bulan” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai).
 3. Bila tidak mampu berpuasa 9 hari berturut turut, maka jangan sampai melewatkan puasa Arafah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab,

    يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

“Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya” (HR. Muslim)
 Bertakbir, bertahlil dan bertahmid. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

    مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

    “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah), karenanya perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya” (HR. Ahmad. Sanad hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).

    Imam Bukhari mengatakan, “Dahulu Umar -radhiallahu anhu- mengumandangkan takbir di dalam kemahnya di mina, maka penghuni masjipun mendengarnya, lalu mereka bertakbir, orang-orang dipasarpun ikut bertakbir hingga mina dipenuhi gema takbir”.

    Disunnahkan untuk mengeraskan takbir, baik di jalanan, di pasar-pasar, bahkan diatas pembaringan sekalipun sebagaimana praktek yang dilakukan salafus sholeh. Berikut ini beberapa bentuk lafdz takbir yang disunnahkan.

* Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabiiran
* Allahu Akbar, Allahu Akbar, la Ilaaha Illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd.
* Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la Ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd.

Catatan: Sunnah memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid ini mulai dilalaikan banyak orang tidak hanya orang awam, bahkan orang-orang sholeh pun mulai meninggalkan sunnah ini, tentu ini sangat disayangkan. Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi di zaman salafussholeh -ridhwanullah alaihim-. Jadi sudah selayaknya kita menghidupkan kembali sunnah yang mulai dilalaikan banyak orang ini.

 4. Berqurban. Allah azza wa jalla berfirman:

    فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

    “Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah” (Al-Kautsar;2).

 Ibadah ini merupakan sunnah muakkadah tidak sampai pada derajad wajib. Imam At-Thahawi mengatakan:

    ويدل على عدم الوجوب أن أبا بكر ـ رضي الله عنه ـ ترك التضحية, وكذلك عمر وابن عباس وعدد من الصحابة, خشية أن يرى الناس أن التضحية واجبة،

 “Dan yang menunjukkan bahwa ibadah ini tidaklah wajib adalah perbuatan Abu Bakar -radhiallahu anhu- yang pernah meninggalkan berkurban, demikian juga Umar, Ibnu Abbas dan beberapa sahabat lain -radhiallahu anhum-. Mereka tidak berkurban karena khawatir orang-orang akan menyangkanya sebagai ibadah yang wajib”.

    As-Sya’bi -rahimahullah- meriwayatkan bahwa Imam Syuraih mengatakan,

    رأيت أبا بكر وعمر ـ رضي الله عنهما ـ وما يضحيان كراهة أن يقتدى بهما

 “Aku melihat Abu Bakar dan Umar -radhiallahu anhuma- tidak melakukan Ibadah Qurban karena takut orang-orang akan mengikuti keduanya”. Maksudnya mereka meninggalkannya karena takut orang-orang akan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajib.

    Adapun Hadits Abu Hurairah -radhiallahu anhu- yang berbunyi:

    من وجد سعة لأن يضحي فلم يضح فلا يحضر مصلانا

 “Barangsiapa memiliki kesanggupan lantas ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghadiri lapangan tempat shalat kami ini“.
Hadits tersebut di atas mauquf kepada Abu Hurairah. Bahkan Al- Arna’uth di dalam takhrij Musnad mendhaifkan hadits tersebut dikarenakan adanya rowi yang bernama Abdullah Ibnu Ayyasy, dan beliau dhoif.

Meskipun tidak sampai pada derajad wajib tetap saja ibadah ini tidak layak ditinggalkan apalagi disaat Allah memberi kelapangan rezeki kepada kita.

 5. Melaksanakan Ibadah Haji bagi yang mampu. Dan diwajibkan bagi orang yang belum menunaikan haji islam.
Hendaklah seorang muslim menyambut musim ketaatan ini dengan taubat yang tulus, tekad yang kuat untuk tidak kembali melakukan dosa serta bersungguh-sungguh dalam melakukan amal sholeh seperti membaca Al-Quran, Dzikrullah dan amalan baik lainnya.

Makna Kedekatan dan Kebersamaan Allah

Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji hanya bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas petunjuk dan agama yang lurus. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada beliau dan orang-orang yang senantiasa mengikuti ajaran beliau hingga hari Kiamat kelak. Amma ba’d.

Saudariku yang saya cintai karena Allah, perlu kita ketahui bahwasanya mengenal Dzat yang menciptakan kita merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar. Bagaimana mungkin seorang hamba tidak mengenal Rabbnya? Bukankah di alam kubur nanti kita akan ditanya oleh malaikat, “Siapakah Rabbmu?” Dan tentu saja orang-orang yang teguh imannya dan mereka mengenal Rabbnya di dunia yang mampu menjawab. Lalu kita akan bertanya, “Bagaimana cara mengenal Allah? Sedangkan kita tidak pernah melihat-Nya sama sekali.”

Diantara cara mengenal Allah Ta’ala adalah mengenal nama dan sifat-Nya. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah di dalam al-Qur’an dan hadist nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kesempatan kali ini, izinkan saya untuk menulis sedikit mengenai sifat Allah yaitu Qurbullah min kholqihi (Kedekatan Allah dengan hamba-Nya) dan Ma’iyyatullah li kholqihi (Kebersamaan Allah dengan hamba-Nya). Semoga kita semua selalu diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Aamiin.

Manhaj Salaful Ummah dalam Kaidah Asma’ wa Shifat

Sebelum kita mengetahui apa itu Kedekatan dan Kebersamaan Allh dengan Hamba-Nya, sedikit saya bahas disini bagaimana kaidah para salaf -para pedahulu kita dalam Islam dari kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, yang disebut juga dengan ahlussunnah wal jama’ah- dalam memahami nama dan sifat Allah. Hal ini ditujukan agar kita memahami dengan kaidah yang shahih, karena para sahabat nabi adalah generasi yang langsung ditarbiyah oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga yang paling mendekati kebenaran.

Adapun kaidah ahlussunnah wal jama’ah tentang nama dan sifat Allah yang harus kita yakini, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Diantara iman kepada Allah adalah mengimani segala yang Allah sifatkan tentang diri-Nya di dalam kitab-Nya (al-Qur’an -pen) dan apa yang Rasul sifatkan tentang Allah (al-Hadist -pen) tanpa tahrif (dirubah), ta’thil (ditiadakan), takyif (dibagaimanakan), dan tamtsil (diserupakan dengan makhluk). Tetapi mereka beriman bahwasanya Allah Subahanahu wa Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. asy-Syura: 11) [1]

Mengapa kita harus memahami nama dan sifat Allah melalui kitab dan sunnah? Jawabannya masih dalam perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Karena Allah Subhanahu adalah Dzat yang paling mengetahui tentang diri-Nya bukan selain-Nya, yang paling benar perkataan-Nya, dan yang paling baik ucapan-Nya. Adapun Rasulullah adalah manusia yang paling jujur perkataannya.” [2]

Makna Kedekatan dan Kebersamaan Allah

Makna kedekatan Allah dengan hamba-Nya adalah Allah Subhanahu Maha dekat dengan orang-orang yang berdo’a dan yang bermunajat kepada-Nya, Maha Mendengar do’a dan bisik-bisik hamba-Nya, dan Allah akan mengabulkan do’a para hamba-Nya kapan saja dan dengan cara apa saja yang Dia kehendaki, maka Allah Maha dekat dengan ilmu-Nya dan pengawasan-Nya. [3]

Sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala dalam kitab-Nya yang mulia,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي ‎وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. al-Baqarah: 186)

Sedangkan makna kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya adalah kebersamaan yang sesuai dengan kemahatinggian-Nya, yang mengandung arti bahwa Allah meliputi semua makhluk-Nya dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, kekuasaan-Nya dan sifat-sifat maha sempurna Allah lainnya yang merupakan makna Rububiyah-Nya. [4]

Makna tersebut adalah makna yang dijelaskan oleh para Imam ahli tafsir dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah, ketika menafsirkan firman Allah,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid: 4)

Diantara yang menafsirkan adalah Imam Ibnu Katsir rahimahullah:

“Dia maha mengawasi kalian lagi menyaksikan perbuatan-perbuatan kalian, kapan dan di manapun kalian berada, di darat maupun di laut, di waktu malam maupun siang, di dalam rumah atau di tempat yang sunyi. Pengetahuan-Nya meliputi semua mahluk-Nya secara menyeluruh, semua dalam pengawasan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar (semua) ucapan serta meyaksikan (semua) keadaan kalian. Dan Dia mengetahui apa yang kalian tampakkan dan rahasiakan.” [5]

Pembagian Ma’iyyah Allah


Para ulama membagi ma’iyyah menjadi 2, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah:

Ma’iyyah ‘Ammah (Ma’iyyah Umum)

Adalah kebersamaan Allah dengan seluruh hamba-Nya dalam pengawasan dan penglihatan-Nya, mengetahui seluruh perbuatan hamba-Nya baik perbuatan yang baik atau buruk, dan Dzat yang membalas semua perbuatan mereka.

Ma’iyyah Khoshshoh (Ma’iyyah Khusus)

Adalah kebersamaan Allah dengan hamba-Nya yang beriman saja, yaitu dengan pertolongan-Nya dan penjagaan-Nya. [6]

Lalu, Dimanakah Allah?

Setelah kita mengetahui bahwasanya Allah itu Maha dekat dan bersama dengan hamba-Nya, mungkin ada diantara kita yang bertanya, “Lalu, dimanakah Allah? Jika dia dekat dan bersama hamba-Nya berarti Allah berada di sekitar kita? Berarti Allah ada dimana-mana?”.

Tentu saja ini pernyataan yang salah saudariku, karena Allah tetap beristiwa’ di atas ‘Arsy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

“Telah disebutkan perkara iman kepada Allah (dalam nama dan sifat-Nya -pen) adalah beriman kepada semua yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya, hadist mutawatir dari Rasul-Nya, dan kesepakatan (ijma’) ulama salaf. Diantara perkara tersebut adalah Allah Subhanahu berada di atas ‘Arsy, Maha tinggi di atas para makhluk-Nya, Dan Allah Subhanahu bersama dengan mereka dimanapun mereka berada, Mengetahui apa saja yang mereka kerjakan. Sebagaimana Allah menggabungkan sifat-sifat tersebut dalam firman-Nya,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS al-Hadid: 4) [7]

‘Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhhuma, yang merupakan ulama tafsir dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhhum , menafsirkan kalimat “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” dalam QS. al-Hadid ayat 4 di atas:

[وَهُوَ مَعَكُمْ] “Dia (Allah) Mengetahui kalian,
[أَيْنَ مَا كُنتُمْ] baik di darat maupun di lautan.” [8]

Adapun kata ma’a tidak harus bersatu di dalam satu tempat, adanya percampuran dan saling bersentuhan. Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan menuliskan bantahan dari syubhat ini:

1. Tidak terdapat dalam kaidah bahasa Arab bahwa kata ma’a harus bersatu dalam satu tempat, adanya percampuran, dan saling bersetuhan.
2. Menyelisihi ijma’ salaful ummah dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
3. Menyelisihi fitrah manusia bahwasanya Allah Maha Tinggi di atas para makhluk-Nya..
4. Menyelisihi al-Qur’an dan al-Hadist bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. [9]

Disebutkan sebelumnya, bahwa Allah Maha dekat dengan hamba-Nya yang berdoa. Maknanya Allah Maha mendengar dan mengabulkan do’a hamba-Nya, serta bersama seluruh hamba-Nya dengan ilmu-Nya, dan keduanya tidak menafikan istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy. Maka sudah sepantasnya kita berhenti pada perkataan ini saja, tanpa mengubah maknanya sebagaimana sikap para sahabat dan ulama salaf.

Renungan Bagi Kita Semua


Saudariku yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah, kita telah bersama-sama mengetahui makna dari kedua sifat Allah di atas. Kita tahu bahwa Allah bersama kita dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, dan kekuasaan-Nya. Akan tetapi mengapa dengan mudahnya kita bermaksiat kepada Dzat yang melihat gerak-gerik kita? Tidakkah kita takut dengan adzab Allah yaitu neraka menyala-nyala yang panasnya 70 kali lipat panasnya api dunia?

Kita tahu bahwa Allah Maha dekat dengan mendengar dan mengabulkan do’a para hamba-Nya, akan tetapi mengapa kita masih saja enggan berdo’a? Padahal seorang hamba sangatlah butuh kepada Rabbnya. Untuk itu marilah kita kembali berbenah saudariku, tidak ada kata terlambat untuk bertaubat sebelum nyawa sampai di kerongkongan. Semoga tulisan ini bermanfaat terkhusus untuk penulis dan dapat mengingatkan kita semua akan kebesaran dan kekuasaan Allah.

Wallahu a’lam.

Apakah Allah Mendengar Dengan Dua Telinga?

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Terkadang muncul pertanyaan dari anak TPA, “Ustadzah, Allah mendengar dengan dua telinga ya?“. Namanya anak-anak, kadang pikirannya neko-neko. Apa saja yang muncul di pikirannya bukan mustahil terlontar. Begitu saja melalui bibirnya yang mungi.
Eitts..! Tapi, tahukah Anda bahwa menjawab pertanyaan di atas perlu suatu ilmu tersendiri? Kali ini ada satu bekal jawaban yang akan kami sampaikan,

Konsep “Tauqifiyyah”

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah tauqifiyyah, yaitu harus berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka tidak boleh kita menamai Allah dan mensifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Dengan konsep tauqifiyyah inilah Syaikh Prof. Dr. Muhammad Khalifah At-Tamimi dalam kitabnya Mu’taqod Ahlis Sunnah fi Tauhidul Asma` wash Shifat berkata,

فلو قال شخص لله سمع بلا أذنين

“Kalau seandainya ada orang mengatakan, ‘Allah mendengar tanpa dua telinga’.

و قال آخر لله سمع بأذنين

“Yang lainnya berkata, ‘Allah mendengar dengan dua telinga’.

لحكمنا بخطأ الأثنين،

“Tentu kita katakan, ‘Keduanya salah’.

لأنه لم يأتي ذكرالأذنين في النصوص لا نفيا و لا إثباتا

“Karena dalam dalil (Al-Qur`an dan As-Sunnah-pent) tidak terdapat peniadaan (Allah mendengar) dengan dua telinga, tidak pula ada penetapan tentang hal itu”.

و الحق هو أن يقال لله سمع يليق بجلاله كما جاءت بذالك النصوص،و قد نهانا الله أن نتكلم بغيرعلم

“Yang benar adalah Allah memiliki sifat mendengar sesuai dengan keagungan-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam dalil-dalil

dan kita telah dilarang oleh Allah untuk berbicara tanpa ilmu,”

فقال تعالى : {وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ }

Allah berfirman, ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al-Israa`:36)

وبالتالي لا يجوز الإثبات أو النفي إلا بالنص.

“Sehingga tidak boleh menetapkan (suatu sifat Allah) ataupun meniadakannya kecuali bila ada dasarnya dalam dalil (Al-Qur`an dan As-Sunnah-pent)”.

Nasihat bagi Ustadzah TPA/TK dan Semuanya

Berhati-hatilah ketika menjelaskan tentang Tuhan kita kepada anak-anak agar tidak terjatuh kepada berbicara tentang Allah tanpa ilmu.

Wallahu a’lam bish shawab.

Dilarang Melihat ke Atas Ketika Berdoa?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras melihat ke atas ketika shalat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلاَتِهِمْ

“Berani sekali mereka mengangkat pandangannya ke atas ketika mereka shalat.”

Beliau memberikan ancaman,

لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ

“Hendaknya mereka hentikan kebiasaan itu, atau mata mereka akan disambar.” (HR. Bukhari no.750 dan Muslim no. 428)

Dari hadis ini, ulama berbeda pendapat mengangkat pandangan ke atas ketika berdoa di luar shalat.

Dalam “Ensiklopedi Fiqh” dinyatakan,

نص الشافعية على أن الأولى في الدعاء خارج الصلاة رفع البصر إلى السماء ، وقال الغزالي منهم : لا يرفع الداعي بصره إليها

“Syafiiyah menegaskan bahwa yang lebih dianjurkan dalam doa di luar shalat, mengangkat pandangan ke atas. Sementari al-Ghazali mengatakan, ”Tidak boleh mengangkat pandangannya ke atas.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 8/99).

Keterangan lain disampaikan an-Nawawi,

قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : وَاخْتَلَفُوا فِي كَرَاهَة رَفْع الْبَصَر إِلَى السَّمَاء فِي الدُّعَاء فِي غَيْر الصَّلَاة فَكَرِهَهُ شُرَيْح وَآخَرُونَ , وَجَوَّزَهُ الْأَكْثَرُونَ

“Al-Qodhi Iyadh mengatakan, ‘Ulama berbeda pendapat tentang hukum melihat ke atas ketika berdoa di luar shalat. Syuraih dan beberapa ulama lainnya menilai makruh, sementara mayoritas ulama membolehkannya'”. (Syarh Shahih Muslim, 4/152)

Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah dibolehkan. Sedangkan larangan melihat ke atas, hanya berlaku ketika shalat. Berdasarkan hadis yang melarang keras perbuatan ini. Selain itu, dibolehkan.

Imam Bukhari membuat judul bab dalam shahihnya,

باب رفع البصر إلى السماء

“Bab bolehnya melihat ke atas”

Kemudian beliau menyebutkan firman Allah,

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ( ) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, ( ) dan langit, bagaimana ia ditinggikan?” (QS. al-Ghasiyah: 17-18)

Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya melihat ke atas ketika berdoa, diantaranya, hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

“Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat pojok Ka’bah, lalu beliau melihat ke atas, lalu tertawa. Kemudian beliau bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ ثَلَاثًا ، إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا

“Allah melaknat orang yahudi (3 kali). Sesungguhnya Allah mengharamkan mereka makan gajih, namun mereka menjualnya….. (HR. Abu Daud no. 3488 dan dishahihkan al-Albani)

Boleh Tapi Tidak Dianjurkan

Syaikhul Islam mengatakan,

ولا يكره رفع بصره إلى السماء في الدعاء ؛ لفعله صلى الله عليه وسلم ، وهو قول مالك والشافعي ، ولا يستحب

“Tidak dimakruhkan melihat ke atas ketika berdoa (di luar shalat), mengingat perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan pendapat Imam Malik, dan as-Syafii. Meskipun tidak dianjurkan”. (Al-Fatawa al-Kubro, 5/338)

7 Pujian Allah Terhadap Orang Yang Mendalam Ilmunya

Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ بَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” (QS. Al Imran: 7).

Al Allamah As Sa’di setelah menjelaskan tafsir ayat ini beliau mengatakan:

“Allah Ta’ala memuji orang-orang yang mendalam ilmunya dengan 7 sifat, yang merupakan sumber kebahagiaan bagi setiap hamba, yaitu:
 1. Ilmu. Yang merupakan jalan menuju kepada Allah. Yang menjelaskan hukum-hukum Allah dan syariat-Nya.
 2. Kedalaman ilmu. Ini merupakan derajat yang lebih tinggi lagi daripada sekedar berilmu. Karena keilmuan yang mendalam berarti ia memiliki ilmu yang kokoh dan kebijaksaan yang mendalam. Allah telah memberikan ilmu kepada orang tersebut baik yang zhahir maupun yang batin. Maka kedalaman ilmunya itu bisa mengungkap hal-hal yang nampak samar dalam syariat ini, baik dalam ilmu, keadaan dan perbuatan.
 3. Allah menyifati mereka bahwa mereka itu beriman dengan seluruh kitab Allah, dan mereka itu senantiasa mengembalikan ayat yang mutasyabihat kepada yang muhkamat dan berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami“
 4. Mereka meminta kepada Allah ampunan dan pertolongan agar terhindar dari apa yang menimpa orang-orang yang sesat dan menyimpang
 5. Mereka mengakui nikmat Allah berupa hidayah dengan perkataan mereka, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami“.
 6. Dengan semua ini, mereka juga meminta limpahan rahmat Allah, yang disana tercakup tercapainya semua kebaikan dan terhindarnya semua keburukan. Dan mereka juga ber-tawassul dengan nama Allah: Al Wahhab.
 7. Allah mengabarkan bahwa mereka itu beriman dan yakin terhadap hari Kiamat dan mereka takut kepadanya.

Dan inilah semua yang wajib diamalkan agar terhindar dari kesesatan” (Taisir Karimirrahman, 123)

Tips Dari Rasulullah Bagi Penghafal Al Qur’an

Ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memberikan tips dalam menghafalkan Al Qur’an agar cepat hafal dan tidak mudah hilang dari ingatan. Simak hadits berikut ini..

Dicatat oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamul Lail (73),

حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ “

“Yunus bin Abdil A’la menuturkan kepadaku, Anas bin ‘Iyadh mengabarkan kepadaku, dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda:

‘Jika seseorang shahibul Qur’an membaca Al Qur’an di malam hari dan di siang hari ia akan mengingatnya. Jika ia tidak melakukan demikian, ia pasti akan melupakannya‘”

hadits ini dicatat juga imam Muslim dalam Shahih-nya (789), oleh Abu ‘Awwanah dalam Mustakhraj-nya (3052) dan Ibnu Mandah dalam Fawaid-nya (54)

Derajat hadits

Hadits ini shahih tanpa keraguan, semua perawinya tsiqah. Semuanya perawi Bukhari-Muslim kecuali Yunus bin bin Abdil A’la, namun ia adalah perawi Muslim.

Faidah hadits

1. Hafalan Al Qur’an perlu untuk dijaga secara konsisten setiap harinya. Karena jika tidak demikian akan, hilang dan terlupa. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,

    إنما مَثَلُ صاحبِ القرآنِ كمثلِ الإبلِ المعَقَّلَةِ . إن عاهد عليها أمسكَها . وإن أطلقها ذهبَت

    “Permisalan Shahibul Qur’an itu seperti unta yang diikat. Jika ia diikat, maka ia akan menetap. Namun jika ikatannya dilepaskan, maka ia akan pergi” (HR. Muslim 789)

    Imam Al ‘Iraqi menjelaskan: “Nabi mengibaratkan bahwa mempelajari Al Qur’an itu secara terus-menerus dan membacanya terus-menerus dengan ikatan yang mencegah unta kabur. Maka selama Al Qur’an masih diterus dilakukan, maka hafalannya akan terus ada”.

    Beliau juga mengatakan: “dalam hadits ini ada dorongan untuk mengikat Al Qur’an dengan terus membacanya dan mempelajarinya serta ancaman dari melalaikannya hingga lupa serta dari lalai dengan tidak membacanya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101-102)

2. Kalimat فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ (membaca Al Qur’an di malam hari dan mengingatnya di siang hari) menunjukkan bahwa membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hendaknya dilakukan setiap hari.

3. Anjuran untuk terus mempelajari, membaca dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an secara konsisten, setiap hari, di seluruh waktu. Al Qurthubi menyatakan: “hal pertama yang mesti dilakukan oleh shahibul qur’an adalah mengikhlaskan niatnya dalam mempelajari Al Qur’an, yaitu hanya karena Allah ‘Azza wa Jalla semata, sebagaimana telah kami sebutkan. Dan hendaknya ia mencurahkan jiwanya untuk mempelajari Al Qur’an baik malam maupun siang hari, dalam shalat maupun di luar shalat, agar ia tidak lupa” (Tafsir Al Qurthubi, 1/20).

4. Anjuran untuk lebih bersemangat membaca Al Qur’an di malam hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

    “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan (Qur’an) di waktu itu lebih kuat masuk hati” (QS. Al Muzammil)

5. Anjuran untuk muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an di siang hari dan malam hari.

6. Hadits di atas tidak membatasi membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hanya malam dan siang saja, namun sekedar irsyad (bimbingan) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam agar senantiasa melakukannya. Hadits riwayat Muslim di atas menunjukkan bahwa semakin sering membaca dan muraja’ah itu semakin baik dan semakin mengikat hafalan Al Qur’an. Dan pemilihan waktunya disesuaikan apa yang mudah bagi masing-masing orang. Syaikh Shalih Al Maghamisi, seorang pakar ilmu Al Qur’an, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab: “waktu menghafal yang utama itu tergantung keadaan masing-masing orang yang hendak menghafal. Adapun berdasarkan tajribat (pengalaman), waktu yang paling baik adalah setelah shalat shubuh” (Sumber: youtube)

7. Hadits ini dalil bahwa shahibul qur’an, dengan segala keutamaannya, yang dimaksud adalah orang yang menghafalkan Al Qur’an, bukan sekedar membacanya. Al Imam Al Iraqi mengatakan: “yang zhahir, yang dimaksud shahibul qur’an adalah orang yang menghafalkannya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati. berdasarkan sabda nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

    يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله

    “hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap kitabullah”

Maksudnya yang paling hafal. Maka derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta” (Silsilah Ash Shahihah, 5/281).

Diantara Dzikir-dzikir Pagi dan Sore

من أذكار الصباح والمساء
روى النسائي في السنن (10330) عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم لفاطمة رضي الله عنها (( مَا يَمْنَعُكِ أَنْ تَسْمَعِي مَا أُوصِيكِ بِهِ ، أَنْ تَقُولِي إِذَا أَصْبَحْتِ وَإِذَا أَمْسَيْتِ : يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ )).
ما أعظمها من وصية من خير أب صلى الله عليه وسلم لبنته سيدة نساء الجنة رضي الله عنها، وهي وصية جمعت الخير كلَّه، قال الشوكاني رحمه الله في تحفة الذاكرين (ص86) : (( والحديث من جوامع الكلم لأنَّ صلاحَ الشأن كلِّه يتناول جميعَ أمور الدنيا والآخرة فلا يفرّ شيء منها؛ فيفوز قائلُ هذا إذا تفضل اللهُ عليه بالإجابة بخيري الدنيا والآخرة، مع ما في الحديث من تفويض الأمور إلى الربِّ سبحانه وتعالى فإنَّ ذلك من أعظم الإيمان وأجلِّ خصاله وأشرف أنواعه )).

Diantara Dzikir-dzikir Pagi dan Sore

An Nasa’i meriwayatkan di dalam Sunannya (No. 10330), dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha,

“Dengarkan baik-baik apa yang akan aku wasiatkan kepadamu, jika masuk waktu pagi dan sore hari, hendaknya engkau mengucapkan,

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ

“Yaa hayyu yaa qayyuum, birahmatika asthagitsu, ashlih lii sya’nii kullihi, wa laa takilni ilaa nafsii tharfata ‘ain.”

(Wahai Dzat yang Maha Hidup, lagi Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau wakilkan aku kepada diriku sendiri sekejap mata pun).

Ini adalah wasiat yang agung dari seorang ayah terbaik -Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada putrinya, pemimpin para wanita di surga, -Fathimah- semoga Allah meridhai beliau. Wasiat ini merupakan wasiat yang mengumpulkan seluruh kebaikan.

Berkata Asy Syaukani rahimahullahu dalam “Tuhfatudz Dzaakiriin” (hal. 86) menjelaskan,

”Hadits ini merupakan jawami’ul kalim (kalimat singkat, padat makna), karena doa memohon kebaikan segala urusan, mencakup seluruh urusan dunia dan akhirat. Tidak ada yang keluar darinya. Sehingga beruntunglah, orang yang Allah kabulkan doanya ini, dengan Allah berikan kebaikan dunia dan akhirat. Lebih dari itu, dalam hadis tersebut, kita diajarkan untuk menyerahkan dengan pasrah segala urusan kepada Allah. Dan ini termasuk tingkatan dan jenis iman paling tinggi.”

Pembagian Tauhid Dalam Al Qur’an

Makna Tauhid

Tauhid secara bahasa merupakan mashdar (kata benda dari kata kerja, ed) dari kata wahhada. Jika dikatakan wahhada syai’a artinya menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut syariat berarti mengesakan Allah dalam sesuatu yang merupakan kekhususan bagi-Nya berupa rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat ( Al-Qaulul Mufiiid Syarh Kitabi At-Tauhid  I/7).

Kata tauhid sendiri merupakan kata yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, “Engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah yang kamu sampaikan pertama kali adalah agar mereka mentauhidkan Allah”. Demikan juga dalam perkataan sahabat Nabi, “Rasulullah bertahlil dengan tauhid”. Dalam ucapan beliau labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, ucapan talbiyah yang diucapkan ketika memulai ibadah haji. Dengan demikian kata tauhid adalah kata syar’i dan terdapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 63).

Pembagian Tauhid dalam Al Qur’an


Pembagian yang populer di kalangan ulama adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Pembagian ini terkumpul dalam firman Allah dalam Al Qur’an:

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).

Perhatikan ayat di atas:
(1). Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan tauhid rububiyah.

(2). Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan tauhid uluhiyah.

(3). Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?) merupakan penetapan tauhid asma’ wa shifat.

Berikut penjelasan ringkas tentang tiga jenis tauhid tersebut:
  1. Tauhid rububiyah. Maknanya adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah:

    أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

    “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” (Al- A’raf: 54).

  2. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatanya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk (hamba). Adapun maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman:

    ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ

    ”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah batil” (Luqman: 30).

  3. Tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan sifat bagi Allah sebgaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak boleh melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

    ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11) (Lihat Al-Qaulul Mufiiid  I/7-10).

Sebagian ulama membagi tauhid menjadi dua saja yaitu tauhid dalam ma’rifat wal itsbat (pengenalan dan penetapan) dan tauhid fii thalab wal qasd (tauhid dalam tujuan ibadah). Jika dengan pembagian seperti ini maka tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat termasuk golongan yang pertama sedangkan tauhid uluhiyah adalah golongan yang kedua (Lihat Fathul Majid 18).

Pembagian tauhid dengan pembagian seperti di atas merupakan hasil penelitian para ulama terhadap seluruh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga pembagian tersebut bukan termasuk bid’ah karena memiliki landasan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kaitan Antara Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah

Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka dia harus beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, tauhid rububiyah termasuk bagian dari tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya, pasti dia meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebagaimana perkatan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:

قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ {75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ {82}

“Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah (75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? (76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku (78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku (79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku (80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat (82)” (Asy- Syu’araa’: 75-82).

Tauhid rububiyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda, karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ {1} مَلِكِ النَّاسِ {2} إِلَهِ النَّاسِ {3}

“Katakanlah;” Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia (1). Raja manusia (2). Sesembahan manusia (3)” (An-Naas: 1-3).

Makna Rabb dalam ayat ini adalah raja yang mengatur manusia, sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.

Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya mencakup makna keduanya. Contohnya pada ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur: “Siapa Rabbmu?”, yang maknanya adalah: “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah:

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ”Tuhan (Rabb) kami hanyalah Allah” (Al-Hajj: 40).

قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا

“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah” (Al-An’am: 164).

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah” (Fushshilat: 30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah  ( Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad 27-28).

Isi Al-Qur’an Semuanya Tentang Tauhid

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa isi Al-Qur’an semuanya adalah tentang tauhid. Maksudnya karena isi Al-Qur’an menjelaskan hal-hal berikut:
1. Berita tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, dan perkataan-Nya. Ini adalah termasuk tauhidul ‘ilmi al khabari (termasuk di dalamnya tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat).
2. Seruan untuk untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Ini adalah tauhidul iraadi at thalabi (tauhid uluhiyah).
3. Berisi perintah dan larangan serta keharusan untuk taat dan menjauhi larangan. Hal-hal tersebut merupakan huquuqut tauhid wa mukammilatuhu (hak-hak tauhid dan penyempurna tauhid).
4. Berita tentang kemuliaan orang yang bertauhid, tentang balasan kemuliaan di dunia dan balasan kemuliaan di akhirat. Ini termasuk jazaa’ut tauhid (balasan bagi ahli tauhid).
5. Berita tentang orang-orang musyrik, tentang balasan berupa siksa di dunia dan balasan azab di akhirat. Ini termasuk balasan bagi yang menyelisihi hukum tauhid.

Dengan demikian, Al-Qur’an seluruhnya berisi tentang tauhid, hak-haknya dan balasannya. Selain itu juga berisi tentang kebalikan dari tauhid yaitu syirik, tentang orang-orang musyrik, dan balasan bagi mereka (Lihat  Fathul Majid 19).

Copyright @ 2013 Demo.